makalah ilmu negara






Ilmu Negara
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas matakuliah yang diampu oleh dosen : Prof. Dr. H. Idzam Fautanu, M.Ag.



Disusun Oleh :
Ari Imam Mufti :1163030014

JURUSAN HUKUM TATANEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016 M/1438 H

















Kata Pengantar

          Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup ini banyak diberikan keberkahan. Dengan kemurahan yang telah diberikan oleh Allah yang maha esa sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami haturkan kepada dosen dan teman-teman yang banyak membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari di dalam penyusunan ini masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian.
          Oleh karna itu kami meminta maaf atas ketidak sempurnaannya dan juga memohon kritik dan saran untuk kami agar bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah ini.
          Harapan kami mudah-mudahan apa yang kami susun ini bisa memberikan manfaat bagi diri kami sendiri dan teman-teman serta orang lain.





Bandung,



Ari Imam Mufti






DAFTAR ISI
Kata pengantar....................................................................................         
Daftar isi.............................................................................................         
Bab 1 Pendahuluan.............................................................................         
1.1 Latar belakang..............................................................        
1.2 Rumusan masalah........................................................         
1.3. Tujuan Penulisan..........................................................        
Bab 2 Pembahasan .............................................................................          

A. Definisi agama dan negara.....................................................         
B. Pengertian dan tujuan negara.................................................         
C. Bentuk – bentuk Negara.........................................................         
D. Bentuk – bentuk pemerintahan .............................................         
E. Hubungan agama dan Negara dalam tinjauan politik islam....        
F. Presfektif islam.......................................................................          
G. Hubungan Negara dam agama di indonesia...........................         
H. Hubungan Negara dan agama yang bersifat akomodatif........         

Bab 3 Penutup.....................................................................................         

Kesimpulan.................................................................................         
Daftar pustaka....................................................................................          







BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal te      rsebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum yang menuntut pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan Agama dan Negara”.




B.  RUMUSAN MASALAH
1.  Apa definisi negara dan agama?
2.  Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam?
3.  Bagaimana hubungan negara dan agama di Indonesia?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.   Mendeskripsikan definisi agama dan negara.
2.   Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam.
3.   Menjelaskan hubungan negara dan agama di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Agama dan Negara
1.      Definisi Agama
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacara¬upacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup satu pengertian saja.


2.      Definisi Negara
B. Pengertian dan Tujuan Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yaknistate (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari bahasa latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status ataustation (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1) Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat  pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah. Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.

C. Bentuk – Bentuk Negara
1)      Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam negara. Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara lain :
a)      Satu UUD / konstitusi
b)      Satu kepala Negara
c)      Satu dewan menteri/cabinet
d)     Satu lemabga perwakilan

2)      Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri. Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan kepada pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara bagian masing – masing. Ciri – ciri negara serikat antara lain :
a)      Ada negara dalam Negara
b)      Ada beberapa UUD/konstitusi
c)      Ada beberapa kepala Negara
d)     Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan





    D. Bentuk – Bentuk Pemerintahan
1)      Ajaran Klasik
Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius menyebutkan bahwa bentuk – bentuk pemerintahan antara lain :
 Monarki : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam dijalankan untuk kepentingan umum.
 Tirani : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan diri sendiri.
Aristokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan umum.
Oligarki : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan diri sendiri.
Demokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan umum.
Anarkhi : pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan kekuasaan dan kepentingan umum.
2)      Ajaran Modern
Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :
a)      Kepala negara disebut raja
b)      Kepala negara menjabat secara turun temurun
c)      Masa jabatan kepala negara seumur hidup
Republik dengan ciri – ciri :
a)      Kepala negara disebut presiden
b)      Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu
c)      Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang – undang.

E.  Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam
Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi antara utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa – masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.

F. Perspektif Islam
1.      Kontribusi Peradaban
Dalam tertib sejarah warisan intelektual peradaban islam merupakan rangkaian ketiga yang juga berkontributif bagi perkembangan tradisi intelektual peradaban dunia, khususnya bagi peradaban barat, yang kini kebetulan banyak dianggap dan dirasakan oleh public sebagai peradaban dominan dunia. Kemudian konteks dunia barat abad kegelapan, dn diakhiri dengan bagaimana kontribusi warisan intelektual peradaban islam terhadap pemikiran dan tradisi keilmuan peradaban barat.
Pertama, seprti halnya pilar-pilar peradaban lainnya peradaban yahudi-kristen, peradaban islam harus juga menerima secara kreatif warisan intelektual peradaban yahudi-romawi, terutama yang diwakili Aristoteles dan Plato. Peradaban yunani-romawi, lebih khusus lagi peradaban yunani dengan sosok Aristoteles-Plato, sampai saat ini, suka tidak suka, merupakan ikon peradaban dunia yang belum bergeming, menurut Ziyab Gokalp, seperti dikutip Ahmad Suhelmi, pengaruh warisan yunani kuno tampak misalnya dalam skema intelektual yang terjadi dalam dunia islam. Para pengikut aliran peripetik adalah penganut ajaran Aristoteles, sedangkan aliran iliminasionis merupakan pengikut Plato. Kaum mutakaliman (Teolog) dipengaruhi ajaran filsafat atomistic demokritus dan epikurus. Kaum mistikus  dipengaruhi oleh Neo-Platonisme yang dikembangkan di Alexandria oleh Plotinus. Ada juga pengikut phytagoras dan zeno didunia islam, yaitu kaum riwakiyyun (stoic). Ibnu Al-Farab, tokok mistikus ajaran Andalusia, sangat dipengaruhi oleh Plato. Karya Ibnu Al-Farabi, Akhlaq-I Nasiri, Akhlaq-I Jalali dan Akhlaq-I Ala’i, terpengaruh kuat oleh pemikiran Aristoteles.
 Bukanlah suatu kekeliruan menerima warisan intelektual dari mana pun datangnya. Kunci memahaminya karena hakikat Islam adalah agama inklusif, bersifat terbuka dan toleran terhadap berbagai pengaruh peradaban asing sejauh tidak bertengtangan dengan prinsip ketuhanan (Tauhid) dan mampu memperkaya tradisi keilmuan Islam.
Kedua, konteks dunia Barat abad kegelapan kondisi itu, langsung atau tidak langsung menjadi fasilitas peradaban Islam untuk menjadi lentera intelektual atau berkontribusi bagi pencerahan Barat. Sebelum abad 13 pemikiran dan tradisi keilmuan Barat sulit dikatakan modern dan progresif. Pada abad itu dan abad sebelum, Eropa mulai diliputi abad-abad kegelapan. Tradisi ilmiah masih dianggap musuh agama dan pengkhianat terhadap ajaran Al-kitab dan Yesus kristus. Para ilmuwan yang sudah mengalami pencerahan kemudian menjdi korban keganasan inkuisisi gereja. Gereja begitu dominan dalam kehidupan bernegara. Dalam kondisi demikian, Eropa sengaja atau tidak sengaja, mulai melakukan kontak dengan dunia islam, baik memulai perdagangan maupun pengiriman pelajar dan mahasiswa Barat ke dunia Islam bertolak dari itu, Eropa mulai mngalami proses pencerahan intelektual.
Salah satu tonggak terpenting bagi proses interaksi peradaban Islam dan Barat ialah momentum Perang Salib kurang lebih selama dua abad (1096-1291). Akibar perang itu, terjadi kontak dagang, pertumbuhan merkanlilisme, dan proses pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang antara kedua peradaban tersebut. Karena barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan dunia Islamwww.costavers.pekku.com, ketimbang sebaliknya.
Kasus serupa juga terjadi beberapa abd sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara islam, Tarq bin Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangung peradaban Islam di kawasan itu. Selama tujuh abad (9-15), peradban Islam Spanyol secara gemilang mentransmisikan kebesarannya kesegala penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah, Eropa mulai merambah jalan ke arah pencerahan intelektual. Proses yang sama juga terjadi dipusat-pusat peradaban Islam lainya, seperti Sicilia, Kairo, Baghdad, dan Alexandria. Melalui jembata itu, Barat akhirnya berhasil secara gemilang merobohkan tembok-tembok dogmatic yang mengungkungnya selama barabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi keilmuan.
Dengan dua penjelasan diatas, kita belum tahu bahwa peradaban Islam memang memiliki hubungan signifikan yang positif bagi peradaban Barat sebagai ikon peradaban dunia modern. Namun demikian, itu saja tidak cukup untuk membuktikan konttibusi peradaban Islam terhadap Barat karena belum dijumpai kajian tokoh-tokoh Islam yang pemikirannya dapat berkembang atau setidaknya menjadi rujukan dalam perkembangan peradaban Barat.
Salah satu konribusi peradaban Islam terhadap Barat, seperti diuraikan oleh Roger Graudy yang dikutip oleh Ahmad Helmi, adalah penerjemahan kitab Al-hayawan ( Livre des Animaux) karya Ibnu Sina  dan syarah kitab IBnu Ruysd, yang berisi critical review Rusyd terhadap karya-karya Aristoteles. Karya-karya pemikir Islam inilah yang menjadikan titik tolak pandangan Barat tentang alam dan kajian-kajian  peneliti eksperimantal.
Ilmuwan muslim lainya yang telah berkontribusi terhadap tradisi keilmuan Barat adalah Ibnu Haitam (Al-Hazen, 965-1039). Ilmuwan muslim ini adalah ahli matematika, astronomi, dan optic. Pengetahuannya tekah membuka jaln bagi Barat yang memperkenalkan dan merintis sains eksperimental. Roger Bacon, pemikir Barat yang memperkenalkan dan merintis metode eksperimental di Barat, belajar dari karya-karya Haitam ketika masih belajar di Universitas Spanyol Islam. Karya Opus Magnus-nya banyak mengutip pendapat Haitam, terutama yang berkaitan dengan filsafat.
   
G. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik Islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebuka Negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru (kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
H. Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik (M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi Islam. Jika Islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1) Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2) Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4)  Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap Islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan Islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan Islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut negara.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab
Dalam tertib sejarah warisan intelektual peradaban islam merupakan rangkaian ketiga yang juga berkontributif bagi perkembangan tradisi intelektual peradaban dunia, khususnya bagi peradaban barat, yang kini kebetulan banyak dianggap dan dirasakan oleh public sebagai peradaban dominan dunia. Kemudian konteks dunia barat abad kegelapan, dn diakhiri dengan bagaimana kontribusi warisan intelektual peradaban islam terhadap pemikiran dan tradisi keilmuan peradaban barat.



Daftar Pustaka
Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004).
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama dan demokrasi.
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
Miriam Budiarjo,  Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987).
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999).
Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP).
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara.
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000).


Silahkan Klick untuk melanjutkan Costavers





Belum ada Komentar untuk "makalah ilmu negara"